“Masih Relevankah …

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA(UPI) MENJAWAB PERTANYAAN: 
“Masih Relevankah Kriteria Ketinggian Hilal 2o?”

Oleh:
Judhistira-Aria-Utama, S.Si., M.Si., Dr.
[email protected]

Laboratorium Bumi & Antariksa
Departemen Pendidikan Fisika
Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi 229 Bandung 40154 Jawa Barat

Menggunakan konsep kontras relatif (rasio antara kontras dengan ambang kontras Blackwell), Sultan (2006) mendapati bahwa untuk konfigurasi geometri yang sempurna (beda azimut terbenam antara Bulan – Matahari, DAZ = 00) di lokasi dengan elevasi ~ 2000 m di atas permukaan laut, ketinggian Bulan untuk dapat diamati pertama kalinya pascakonjungsi adalah 20 terlepas dari berapapun nilai elongasi Bulan – Matahari. Memanfaatkan data laporan kesaksian mengamati hilal di Indonesia yang dihimpun oleh KEMENAG RI (1962 – 1997) dan LP2IF RHI (2007 – 2008) dan telah mengalami proses seleksi menggunakan model kecerahan langit senja dari Kastner (1976), hasil yang tidak berbeda didapatkan pula oleh Utama & Siregar (2013). Berdasarkan data yang tersedia, Utama & Siregar (2013) memperoleh bahwa tidak bergantung pada berapa lama sejak Matahari terbenam dicapainya nilai kontras maksimum, rata-rata nilai ketinggian Bulan di atas horison adalah 2,10. Studi dengan melibatkan jumlah data wilayah tropis yang lebih banyak (KEMENAG RI, 1962 – 2011; LP2IF RHI, 2007 – 2009; M.S. Odeh, 1859 – 2005) memberikan hasil yang tidak berbeda dari studi sebelumnya (Utama & Hilmansyah, 2013).

Utama & Hilmansyah (2013) memperoleh nilai-nilai minimal berbagai parameter fisis yang diperlukan untuk visibilitas hilal. Hasil tersebut disarikan berikut ini dan diusulkan sebagai kriteria visibilitas hilal untuk wilayah tropis:

Tabel 1. Nilai rata-rata parameter fisis saat dicapainya kontras maksimum

Penting untuk dicatat bahwa nilai-nilai dalam Tabel 1 merupakan NILAI RATA-RATA yang bersumber dari data otentik berupa kesaksian mengamati hilal pada saat kontras (rasio nilai kecerahan hilal terhadap nilai kecerahan langit senja dan langit malam) maksimum dicapai. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, sebagai jawaban atas pertanyaan dalam judul makalah ini, maka kriteria ketinggian hilal 20 MASIH RELEVAN dengan TAFSIRAN BARU. Ketinggian hilal minimal 20 adalah ketinggian yang dicapai pada saat kontras maksimum BUKAN saat Matahari terbenam. Artinya, ketinggian hilal pada saat Matahari terbenam akan memiliki nilai > 20 sesuai dengan hasil-hasil studi yang telah banyak dilakukan dan nilainya dapat saja BERVARIASI antara satu kasus hilal dengan kasus hilal lainnya.

Hanya hilal dengan ketinggian ~ 20 pada saat kontras maksimum yang akan dapat diamati baik dengan modus mata telanjang maupun berbantuan alat (binokuler/teleskop). Utama (2013) mendefinisikan saat kontras mencapai maksimum sebagai WAKTU TERBAIK (best time) mengamati hilal dan memperoleh persamaan sederhana untuk memprediksikan tibanya waktu tersebut, yaitu

Dibandingkan dengan prediksi Yallop (1997) tentang tibanya waktu terbaik, hasil yang diberikan persamaan (1) berada dalam rentang 5 – 20 menit lebih akhir (Utama, 2013).

Referensi

Kastner, S.O. 1976. Calculation of the Twilight Visibility Function of Near-Sun Objects. The Journal of The Royal Astronomical Society of Canada. Volume 70, No.4

Sultan, A.H. 2006. “Best Time” for the First Visibility of the Lunar Crescent. The Observatory. Volume 126, No.1191

Utama, J.A. 2013. Konsep “Best Time” dalam Observasi Hilal Menurut Model Visibilitas Kastner, dalam Prihantoso, K., Darmawan, D., Priyambodo, E., et al. Eds. Prosiding Seminar Nasional, Yogyakarta: Jurusan Fisika

Utama, J.A., Hilmansyah. 2013. Penentuan Parameter Fisis Hilal Sebagai Usulan Kriteria Visibilitas di Wilayah Tropis, dalam Supriyadi, Yulianto, A., Khumaedi, et al. Eds. Prosiding Seminar Nasional Fisika IV, Semarang: Jurusan Fisika

Utama, J.A., Siregar, S. 2013. Usulan Kriteria Visibilitas Hilal di Indonesia dengan Model Kastner. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia. Volume 9, No.2

Yallop, B.D. 1997. NAO Technical Note No. 69. HM Nautical Almanac Office, Royal Greenwich Observatory: Cambridge