Ramadan dan Syawal 1439 H/2018 M dipastikan Serentak
Astronomi merupakan sains observasi. Dalam banyak hal, astronom hanya dapat menjadi “pengamat yang baik” karena ketidakmampuannya dalam turut campur atas fenomena alam yang terjadi. Karenanya, dalam astronomi dikenal pendekatanalternatif yaitu melalui langkah “observasi – simulasi – teori” terhadap “eksperimen – teori” yang lazim dijumpai di dalam metode ilmiah. Melalui kegiatan observasi benda-benda langit yang terus diturunkan lintas generasi, manusia pun memperoleh pemahaman tentang keteraturan fenomena yang diamatinya tersebut. Dari sini lahirlah sistem penanggalan yang digunakan manusia sejak dulu untuk menandai perjalanan sang waktu. Sejarah peradaban manusia mencatat bahwa sistem penanggalan tertua yang ada di muka Bumi merupakan kalendar Bulan. Hal ini tidak terlepas dari kemudahan mengamati perubahan wajah Bulan yang membentuk siklus teratur dari malam ke malam. Hingga kini pun, kalendar Bulan masih digunakan oleh banyak kalangan. Umat Hindu di Indonesia, merayakan Nyepi yang bertepatan dengan terjadinya fase Bulan mati (tilem atau konjungsi dalam istilah astronomi). Sementara itu, waktu terjadinya fase purnama menandai perayaan Waisak bagi umat Budha. Demikian pula dengan kalendar Hijriah yang digunakan umat Muslim sedunia sebagai kalendar sipil dan ibadah yang juga merupakan kalendar Bulan. Bahkan, penentuan bilakah tibanya perayaan Paskah dalam kalendar Masehi yang berbasis Matahari, tetap bersandar kepada waktu kejadian Bulan purnama pertama yang terjadi setelah tibanya Matahari di khatulistiwa langit yang menandai awal musim semi (vernal equinox) di Bumi belahan utara.
Kegiatan observasi (rukyat/pengamatan) yang dilakukan dengan cermat akan menyumbang data berkualitas. Data dalam jumlah yang cukup dan berkualitas ini memiliki peran vital di dalam membangun model matematis (hisab/perhitungan) terkait fenomena alam yang diamati. Harapannya tentu dapat dihasilkan model akurat yang ditandai dengan kemampuannya dalam memprediksi peristiwa yang akan terjadi. Sebagai contoh adalah model matematis terkait fenomena gerhana Matahari dan Bulan. Dengan model pergerakan Matahari dan Bulan yang ada saat ini, astronom mampu memprediksi waktu kejadian dan lokasi perlintasan gerhana hingga ratusan tahun pada masa depan dengan akurasi yang sangat tinggi. Model yang sama juga telah diterapkan dalam perhitungan waktu-waktu ibadah wajib salat lima waktu bagi umat Muslim. Pada saat yang sama, suatu model harus mampu bertahan terhadap ujian, yaitu seberapa dekat prediksi yang dihasilkannya dengan realitas yang diamati. Bila prediksinya memperoleh konfirmasi melalui kegiatan observasi, artinya model tersebut sudah berada di arah yang benar. Dalam konteks ini, kegiatan memprediksi (melalui hisab/perhitungan) dan mengkonfirmasi (melalui rukyat/pengamatan) merupakan perangkat yang tidak dapat dipisahkan dalam ranah ilmiah dan bukan pada tempatnya mempertentangkan antara keduanya.
Bila memang posisi setiap saat benda-benda langit sudah dapat diprediksi dengan akurat, pertanyaan yang kerap dilontarkan masyarakat luas adalah mengapa untuk menentukan hari pertama Ramadan yang berkaitan dengan dimulainya ibadah puasa wajib bagi umat Muslim dan hari terakhir Ramadan yang berkenaan dengan momentum hari raya pada keesokan harinya, tidak bisa dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya? Bukankah dalam kalendar yang beredar luas di masyarakat juga sudah diketahui hingga satu tahun ke depan bilakah jatuhnya hari-hari libur nasional yang berkaitan dengan hari besar keagamaan? Apa perlunya sidang penetapan (itsbat) di Kementerian Agama? Benar, bahwa gerak dan posisi benda-benda langit sudah dapat diprediksi dengan sangat akurat, namun untuk tiga momentum yang istimewa, yaitu awal Ramadan, akhir Ramadan/awal Syawal, dan awal Zulhijah (sebagai pedoman bagi penetapan waktu wukuf dalam ibadah Haji yang jatuh pada tanggal 9 Zulhijah), Kementerian Agama Republik Indonesia yang berkewajiban untuk mengayomi pengamal dua metode yang berbeda, yaitu hisab dan rukyat, diharuskan mengakomodasi kedua praktik tersebut. Bagi pengamal metode hisab, forum untuk memvalidasi hasil perhitungan dari beraneka ragam sistem yang berkembang di Indonesia ini dilakukan melalui Temu Kerja (MuKer) Hisab Rukyat. Yang divalidasi (biasanya untuk kurun waktu dua tahun ke depan) adalah hasil perhitungan awal bulan-bulan Hijriah, peristiwa gerhana (Matahari dan Bulan), dan peta ketinggian hilal (fase Bulan sabit pertama pascakonjungsi yang wujud setelah terbenamnya Matahari). Bagi pengamal metode rukyat, tentu saja laporan dari para pengamat yang disebar di sejumlah titik pengamatan sebagai konfirmasi atas hasil hisab, baru akan tersedia pada hari pengamatan dilangsungkan, yaitu hari ke-29 bulan Hijriah yang sedang berjalan. Apapun hasil pengamatan di bawah sumpah oleh hakim Pengadilan Agama inilah (hilal berhasil diamati ataupun tidak berhasil diamati) yang memerlukan sidang penetapan (itsbat) untuk diterima sebagai keputusan hukum yang sah. Lebih lanjut, sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2 tahun 2004, yaitu “Penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah dilakukan berdasarkan metode rukyat dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama dan berlaku secara nasional”, maka aktivitas rukyat memang tetap harus dilakukan meskipun hasil hisab yang akurat secara tegas menyatakan bahwa posisi Bulan saat itu berada di bawah ufuk (hilal tidak dapat diamati). Mungkin ada sebagian masyarakat yang merasa geli dengan bertanya, “Untuk apa berupaya mengamati objek langit yang menurut ilmu pengetahuan sudah dipastikan tidak mungkin untuk diamati?” Sekali lagi, jawabannya karena Kementerian Agama hingga saat ini masih berkomitmen mengakomodasi kedua metode, sehingga selama itu pula sidang itsbat masih akan diperlukan.
Dalam kalendar Masehi (berbasis Matahari), pergantian hari terjadi saat tengah malam, yaitu ketika Matahari berada di posisi nadir. Berbeda dengan kalendar Masehi, di dalam kalendar Hijriah yang berbasis Bulan, pergantian hari terjadi ketika Matahari terbenam; secara geometris bertepatan dengan tepi atas bundaran Matahari berada di ufuk. Pergantian bulan Hijriah perlu menunggu terjadinya kembali fase Bulan mati atau konjungsi. Aturan yang digunakan dalam sistem kalendar ini adalah bila konjungsi terjadi setelah terbenamnya Matahari (magrib), malam itu masih hari ke-30 bulan berjalan (bulan berjalan digenapkan jumlah harinya, atau di-istikmal-kan), sehingga saat Matahari terbenam keesokan harinya serta-merta masuk hari pertama di bulan yang baru. Sementara, bila fase konjungsi terjadi sebelum terbenam Matahari, akan terdapat tiga kemungkinan berdasarkan amalan metodenya. Kemungkinan pertama: Bulan terbenam sebelum terbenamnya Matahari. Untuk kasus seperti ini, pengamal hisab dan rukyat bersepakat bahwa malam itu masih hari ke-30 bulan berjalan. Kemungkinan ke dua: Bulan terbenam lebih lambat daripada terbenamnya Matahari. Bagi pengamal hisab, malam itu juga sudah mengalami pergantian hari dan bulan sekaligus. Sementara, bagi pengamal rukyat mereka harus terjun ke lapangan untuk memastikan bahwa hilal berhasil/tidak berhasil diamati. Bila elemen-elemen Bulan pada saat Matahari terbenam memiliki nilai yang lebih besar atau sama dengan nilai-nilai minimal yang dirujuk sebagai kriteria bagi kenampakan (visibilitas) hilal, terlepas dari apakah hilalmemang berhasil diamati ataukah tidak, malam itu sudah berganti tanggal di bulan yang baru. Dalam kondisi demikian, tidak ada perbedaan dalam mengawali bulan antara pengamal hisab dan rukyat. Kemungkinan yang ke tiga mirip dengan kemungkinan ke dua, yaitu Bulan terbenam lebih lambat daripada terbenamnya Matahari, namun nilai-nilai elemen Bulan kurang dari nilai-nilai minimal kriteria kenampakan (visibilitas) hilal. Bila demikian kondisinya, dapat dipastikan akan terjadi perbedaan dalam mengawali bulan Hijriah di antara pengamal hisab dan rukyat.
Selama ini, nilai-nilai batas minimal yang dirujuk sebagai kriteria bagi kenampakan (visibilitas) hilal melibatkan elemen ketinggian Bulan dari ufuk, elongasi (jarak sudut) Bulan – Matahari, dan usia Bulan sejak fase konjungsi ke saat terbenamnya Matahari, yang dikenal sebagai kriteria MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Dalam pertemuan yang dihadiri oleh wakil negara-negara MABIMS pada tanggal 21 – 23 Mei 2014 silam di Jakarta muncul kritik yang menghendaki diubahnya kriteria MABIMS yang selama ini dikenal pula sebagai kriteria “2–3–8” agar disesuaikan dengan realita visibilitas fisik hilal. Bahkan sejatinya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa yang sama (No. 2/2004)telah merekomendasikanguna “mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait”.Sebagai langkah aksi atas munculnya fatwa tersebut, pada tanggal 14– 15 Agustus 2015 yang lalu telah dilaksanakan pertemuan “Penyatuan Metode Penetapan Awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah” oleh Majelis Ulama Indonesia dan Ormas-ormas Islam bersama Kementerian Agama RI, yangditindaklanjuti dengan pertemuan Pakar Astronomi pada 21 Agustus 2015 gunamenentukan kriteria awal bulan Hijriah untuk disampaikan kembali kepada MUI sebelum Munas MUI pada tahun yang sama.Dalam pertemuan Pakar Astronomi tersebut, di mana Penulis terlibat sebagai salah satu anggota di dalamnya, berhasil disusun Naskah Akademik sebagai landasan ilmiah untuk suatu usulan kriteria kenampakan (visibilitas) hilal yang baru, yang selanjutnya disebut sebagai Kriteria Imkan Rukyat. Sayangnya, hingga saat ini belum terdengar respon resmi MUI terhadap usulan kriteria tersebut.
Dalam Kriteria “2–3–8”, klausul yang digunakan sebagai syarat teramatinya hilal adalah: ketinggian minimal Bulan dari ufuk 20 dan elongasi minimal 30, atau umur Bulan minimal 8 jam. Syarat kenampakan hilal dengan kriteria ini dirasa terlalu musykil, mengingat dengan posisi Bulan yang serendah itu (20) dari ufuk dan sedekat itu (30) dari Matahari serta semuda itu (8 jam) sejak konjungsi, akan sulit untuk membuat kecerahan (brightness) hilal mampu mengalahkan kecerahan langit senja (syafak). Dalam kriteria yang baru, parameter fisik bagi kenampakan hilal direduksi menjadi hanya ketingggian dan elongasi. Parameter ketinggian digunakan sebagai ukuran kegelapan (darkness) langit senja; semakin jauh posisi Bulan di atas ufuk semakin mudah hilal untuk diamati karena berada di bagian langit yang relatif lebih gelap. Sementara itu, parameter elongasi berhubungan dengan ketebalan sabit Bulan. Semakin besar nilai elongasi, semakin tebal pula sabit Bulan yang berimplikasi kepada semakin besarnya nilai kecerahan hilal. Jadi, kombinasi antara posisi Bulan yang berada di bagian langit yang lebih gelap dan nilai elongasinya yang lebih besar, diharapkan dapat membuat kecerahan hilal mampu mengalahkan kecerahan langit senja. Bila kecerahan hilaldapat melampaui kecerahan langit senja, hal ini berarti bahwa hilal berpeluang untuk dapat diamati. Sebagai nilai minimum untuk ketinggian dan elongasi yang diadopsi dalam kriteria Imkan Rukyat ini, berturut-turut adalah 30 dan 6,40, yang harus dipenuhi secara bersamaan. Nilai-nilai ini berdasarkan data observasi hilal (tahun 1859 – 2004) di seluruh dunia dari pangkalan data yang tersedia.
Fase konjungsi yang akan menandai berakhirnya bulan Syakban 1439H, terjadi pada hari Selasa tanggal 15Mei 2018pukul 18:49WIB (= 19:49WITA, 20:49WIT). Pada hari terjadinya konjungsi, Matahari terbenam pukul 17:43:41 waktu setempat di kota Bandung. Di seluruh kawasan Indonesia, konjungsi terjadi setelah terbenamnya Matahari. Dengan demikian, saat magrib nanti, tanggal 29 Syakban akan berlanjut dengan tanggal 30 Syakban yang akan berakhir dan berganti menjadi 1 Ramadan pada saat magrib keesokan harinya (Rabu, 16 Mei 2018). Hasil perhitungan astronomis Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama yang beranggotakan pakar astronomi dan ahli hisab rukyat perwakilan ormas-ormas Islam ini telah divalidasi di dalam Temu Kerja (MuKer) Hisab Rukyat pada 2016 silam. Sidang itsbat yang akan digelar pada petang hari nanti di Kementerian Agama dimaksudkan untuk mengesahkan hasil rukyat yang mengkonfirmasi bahwa hilal belum wujud pada saat Matahari terbenam. Dengan demikian, umat Muslim Indonesia akan memulai amaliah Ramadan berupa salat Tarawih pada Rabu malam (16 Mei 2018) dan menjalankan ibadah puasa pada keesokan harinya (Kamis, 17 Mei 2018). Tidak berbeda dengan awal Ramadan tahun ini yang berjalan serentak, demikian pula dengan yang akan terjadi saat umat Muslim Indonesia mengakhiri Ramadan nanti. Fase konjungsi berikutnya yang menandai selesainya satu siklus perubahan penampakan wajah Bulan akan terjadi pada hari Kamis 14 Juni 2018 pukul 02:44:24 WIB (= 03:44:24 WITA, 04:44:24 WIT; bertepatan dengan 29 Ramadan 1439 H). Konjungsi yang terjadi sebelum Matahari terbenam ini (di Bandung, Matahari terbenam pada pukul 17:45:23 waktu setempat) menghadirkan elemen-elemen Bulan pada saat terbenamnya Matahari berturut-turut adalah: ketinggian = 6,50 dan elongasi 8,30. Nilai-nilai ini telah melampaui batas minimal dalam Kriteria Imkan Rukyat yang dirujuk, sehingga berpeluang menghasilkan masuknya laporan keberhasilan mengamati hilal untuk dapat disahkan dalam sidang itsbat di Kementerian Agama pada Kamis 14 Juni 2018 petang hari tersebut. Peta kenampakan hilal global penentu awal Ramadan dan Syawal 1439 H ditunjukkan dalam Gambar 1 dan Gambar 2.
Hingga beberapa tahun ke depan, berdasarkan hisab telah diketahui bahwa konfigurasi Matahari – Bumi – Bulan akan menghasilkan kebersamaan umat Muslim Indonesia dalam memulai dan mengakhiri Ramadan dengan kriteria yang dirujuk di atas. Dalam masa-masa “tenang” ini Kementerian Agama berbekal mandat dari MUI akan memaksimalkan upaya mensosialisasikan Kriteria Imkan Rukyat yang diyakini sebagai kriteria kenampakan (visibilitas) hilal yang lebih ilmiah secara astronomis kepada kalangan ormas-ormas Islam di Indonesia. Harapannya, dengan berhasil diterima dan disepakatinya Kriteria Imkan Rukyat sebagai kriteria tunggal oleh seluruh elemen bangsa, perbedaan antarormas dalam mengawali dan mengakhiri Ramadan tidak terjadi lagi pada masa-masa mendatang. Selamat menyambut datangnya Ramadan 1439 H dan menikmati peribadatan dengan penuh kekhusukan di bulan penuh berkah ini. Mohon maaf lahir dan batin.
Gambar 1. Peta kenampakan (visibilitas) hilal global sebagai fungsi lintang (sumbu tegak) dan bujur geografis (sumbu mendatar) pada hari terjadinya konjungsi, 15 Mei 2018, yang dibangkitkan dengan perangkat lunak Accurate Times 5.3 dari Mohammad Odeh. Wilayah yang diarsir warna merah menandai kawasan yang mustahil dapat mengamati hilal(konjungsi terjadi setelah Matahari terbenam), putih berarti tidak dapat mengamati hilal (nilai-nilai elemen Bulan masih sangat kecil), biru menyatakan hilal dapat diamati dengan bantuan alat optik, dan magenta merupakan kawasan yang berpeluang dapat mengamati hilal dengan mata telanjang (tanpa bantuan alat optik). Seluruh kawasan Indonesia berada dalam arsiran warna merah, sehingga bulan Syakban digenapkan menjadi 30 hari.
Gambar 2. Peta kenampakan (visibilitas) hilal global sebagai fungsi lintang (sumbu tegak) dan bujur geografis (sumbu mendatar) pada hari terjadinya konjungsi, 14 Juni 2018, yang dibangkitkan dengan perangkat lunak Accurate Times 5.3 dari Mohammad Odeh. Wilayah yang diarsir warna biru menandai kawasan yang dapat mengamati hilal dengan bantuan alat optik, sementara magenta merupakan kawasan yang berpeluang dapat mengamati hilal dengan mata telanjang (tanpa bantuan alat optik). Sebagian kawasan di bagian barat Indonesia berada dalam arsiran warna ini. Warna hijau untuk kawasan yang dapat mengamati hilal dengan mudah berbekal mata telanjang.
Dr. Judhistira Aria Utama, M.Si.
Laboratorium Bumi dan Antariksa
Departemen Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan MIPA, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Anggota Tim Perumus Naskah Akademik Kriteria Imkan Rukyat & Bergiat di Konsorsium Rukyat Hilal Hakiki (KRHH)